I Gede Basur, Penguasa Ilmu Leak Desti di Bali

2:24 PM , 2 Comments

Keberadaan leak di Bali dari jaman dahulu kala sudah menjadi fenomena yang tak pernah sirna, keberadaannya dari dulu menjadi perbincangan yang menakutkan di masyarakat.Ilmu Desti atau ilmu pengleakan sejatinya adalah ilmu Bali kuno dan merupakan ilmu rahasia. Rahasia karena pada zaman dahulu, tidak sembarangan orang bisa menguasai kemampuan ini. Diceritakan bahwa hanya para raja dan bawahannya yang memiliki ilmu ini untuk mempertahankan dan membela diri dan kerajaan dari serangan. Selain itu, dalam proses ngeleak, ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan dan prosesnya ini membutuhkan tempat yang tersembunyi. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ngeleak dilakukan di kuburan. Salah satu norma yang dipahami dalam pengelakan, siapapun dirimu, entah manusia, orang sakti, kaya, miskin, kesemuanya itu pasti akan berakhir di kuburan. Inilah mengapa kuburan dianggap tempat suci. Jro Mangku Sudiana dari Sesetan, sahabat saya, pernah menyatakan bahwa kuburan adalah satu satu tempat suci.

Seiring perkembangan zaman, ilmu pengelakan sering dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri yang kurang baik. Ilmu pengelakan adalah ilmu seni, tidak untuk membunuh atau menyakiti, hanya untuk menikmati sensasi dunia dari dimensi yang berbeda. Dalam ilmu pengelakan ada norma atau aturan-aturan tersendiri yang harus diikuti. Ibarat pedang bermata dua, ilmu pengeleakan dipakai oleh manusia untuk menyakiti bahkan untuk membunuh orang yang diinginkan. Karena rasa dendam, rasa ingin memiliki, iri, dengki, egois dll.

Ada beberapa cerita yang dalam pembabakannya mengisahkan bagaimana seseorang menguasai ilmu pengelakan. Mempergunakannya sesuai dengan keadaan pada masing-masing zamannya. Salah satunya cerita dramatri I Gede Basur.

I Nyoman Karang

Seorang laki-laki sederhana, berperilaku baik dan hidup membaur di masyarakat. I Nyoman Karang, begitu laki-laki itu dipanggil di Banjaran Sari. Ia hidup bersama putri kesayangannya, Ni Nyoman Sukasti. Kebahagiaan selalu menyelimuti kehidupannya. Walau sudah ditinggal oleh sang istri, namun I Nyoman Karang mampu membesarkan putri satu-satunya. Suatu hari, ia terkenang saat istrinya melahirkan Ni Nyoman Sukasti. Kesedihan itu masih ia rasakan. Istrinya bertarung dengan maut, mengerahkan kemampuan yg dimiliki, berusaha keras agar bayi yg terkandung dalam rahimnya, bisa terlahir dengan sempurna. Memiliki keturunan dan menjadi seorang ibu adalah kebahagiaan tetinggi bagi sang istri. Sebagai seorang suami, ia juga ikut merasakan beban berat yang diderita istrinya. Hanya berdoa, memohon agar Ida Sanghyang Widhi memberikan yang terbaik bagi istri dan anaknya.

Ida sanghyang Widhi mengabulkan permohonan I Nyoman Karang, sang bayi yg ditunggu-tunggu, tangisan sang bayi telah terdengar, menandakan sang bayi telah lahir dengan sempurna. Namun di tengah kegembiraan itu, istrinya tidak pernah menghembuskan nafas lagi. Nafas terakhir itu telah diberikan untuk kelahiran sang putri. Kegembiraan yang terselimuti oleh kepedihan tercampur berbaur dalam hati I Nyoman Karang saat itu.

Sebagai orang tua, ia harus tetap hidup, ia harus tetap tegar untuk melaksanakan pesan yang dititipkan oleh istri untuk membesarkan sang putri. Hujan lebat serta kilatan petir menyambar, semakin menambah kepedihan dalam diri I Nyoman Karang. Dalam keadaan terguncang , ia pergi ke tengah hutan, mencari sesuatu yang bisa diberikan untuk anaknya yang masih merah.

Wajahnya menjadi sendu, buliran air hampir saja menetes di wajah I Nyoman Karang. Ni Nyoman Sukasti tersentuh oleh cerita orangtuanya.

“oh engkau guru saya, orang tua saya, orang yg paling saya hormati, orang yg telah meniupkan jiwa dalam badan saya, terimakasih dan rasa hormat semua saya serahkan untuk engkau ayah…. Dengan apa saya harus membalas semua pemberian ayah pada anakmu ini... karena hutang seorang anak, pernah bisa terlunaskan...” demikian Ni Nyoman Sukasti terisak di hadapan ayahnya. “Jadilah wanita yang berbudi luhur, jaga dirimu dengan baik, agar menjadi putra suputra….” Singkat permintaan I Nyoman Karang.

I Gede Basur

I Gede Basur seorang kaya raya yang tinggal di Banjaran Santun. Ia menjadi sangat terkenal karena menguasai ilmu pengiwa atau ilmu aliran hitam. I Wayan Tigaron adalah satu-satunya putra dan merupakan kesayangan I Gede Basur. Namun sifat I Wayan Tigaron tidak begitu baik, kebiasaan berjudi, mabuk minuman keras dan mempermainkan wanita adalah hal yang biasa dalam kesehariannya. Sebagai orang tua, I Gede Basur selalu menuruti setiap permintaan anak kesayangannya. Namun demikian, I Gede Basur pun sudah tidak sabar ingin memiliki seorang menantu, menimang seorang cucu. Tiada kebahagiaan yang ia inginkan saat ini selain menjadi seorang kakek, melewati masa tua diganggu oleh tingkah lucu menggemaskan dari sang cucu. I Gede Basur tahu bahwa anaknya telah jatuh cinta pada Ni Nyoman Sukasti dan iapun teringat bahwa I Wayan Tigaron sempat memberitahunya untuk melamar ke Banjaran Sari. Segera I Gede Basur mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar ni nyoman sukasti di Banjaran Sari. Perlengkapan dipersiapkan, segala jenis perhiasan dan kekayaan dunia akan diberikan sebagai bukti keseriusan lamaran kali ini.

Lamaran yang Ditolak

I Gede Basur dan I Nyoman Karang saling beramah tamah. Sudah sekian lama mereka tidak bertemu, rasa kangen telah ditumpahkan kedua anak manusia itu. Penuh percaya diri karena merasa yakin akan lamarannya, I Gede Basur secara langsung menyampaikan bahwa anaknya, I Wayan Tigaron, sudah beranjak dewasa, demikian juga dengan Ni Nyoman Sukasti, sudah saatnyalah untuk mencari pendamping hidupnya. Yang diharapkan adalah kebahagiaan, karena harta benda, kekayaan duniawi yang dimiliki tiada arti kalau rasa persaudaraan yang telah diciptakan oleh para leluhur dahulu terputus begitu saja. Alangkah baiknya jika rasa persaudaran yang telah terjalin ini dipertegas kembali. Salah satunya adalah dengan menikahkan I Wayan Tigaron dengan Ni Nyoman Sukasti. Karena dengan demikian bukan hanya dua keluarga yang akan menjadi satu tapi rasa kekeluargaan kedua banjaran pun akan terbina dengan baik. Ini tentu akan memberikan dampak yang baik bagi kedua belah pihak. Demikian perasaan I Gede Basur dengan senangnya. I nyoman karang menyambut baik keinginan I Gede Basur. Ia pun merasa berbahagia akan kepercayaan yang diberikan I Gede Basur terhadapnya. Seperti seorang yang haus, diberikan seteguh air untuk melepas dahaga selama ini. Namun karena ini adalah masalah pernikahan anaknya, ia tidak mau memutuskan. I Nyoman Karang menyerahkan segala keputusan ini kepada anaknya karena memilih pendamping untuk menemani seumur hidup adalah mutlak menjadi keputusan Ni Nyoman Sukasti.

Ni Nyoman Sukasti, wanita cantik berpengetahuan, menolak pelamaran. Pendamping seumur hidup haruslah dipilih berdasarkan cinta, karena kekayaan duniawi bersifat semu. Ia akan pudar seiring berjalannya waktu. Walau seorang yang lahir dari kemiskinan, kalau ia memiliki cinta sejati maka seseorang itulah yang disebut kaya. Kekayaan yang tidak semu adalah kebahagiaan dan kebahagiaan dalam rumah tangga akan hadir bila kedua pasangan itu memiliki cinta sejati.. cinta sejati itu ada pada I Wayan Tirta. Itulah yang Ni Nyoman Sukasti inginkan.

I Gede Basur yang keinginannya selalu terpenuhi, kali ini harus pulang dengan tangan hampa. Dalam hatinya ia merasa sakit luar biasa, pelamaran yang telah dipersiapkan dengan begitu mewah harus diakhiri oleh kegagalan. Namun I gede basur sadar kebenaran upacan Ni Noman Sukasti. Pernikahan haruslah didasar atas rasa cinta, bukan oleh harta dunia. I Gede Basur menemui I Wayan Tigaron. Sebagai orang tua, ia meminta maaf atas kegagalannya untuk membawa Ni Nyoman Sukasti sebagai calon memantu. I Wayan Tigaron yang memang memiliki sifat kurang baik, tidak peduli, ia kukuh bahwa Ni Nyoman Sukasti harus menjadi istrinya. Ia menyalahkan ayahnya karena telah gagal, ia juga mempertanyakan kemampuan ilmu hitam yang dimiliki ayahnya. Seraya, mengungkit-ungkit, memanas-manasi, merasa sia-sia memiliki kekayaan yang berlimpah, kalau hanya melamar seorang Ni Nyoman Sukasti saja tidak mampu. I Gede Basur merasa terhina kembali, kemarahannya memuncak hingga timbullah kebencian dalam dirinya. Rasa benci ini harus dihapus oleh kematian I Nyoman Karang dan Ni Nyoman Sukasti.

Bencana Banjaran Sari

I Gede Basur berangkat ke kuburan, memohon anugrah Bhatari Durga, agar dapat membuat wabah di Banjaran Sari. Semua muridnya dikerahkan, para leak diundang untuk ikut membantu menjalankan niat jahatnya, menghancurkan Banjaran Sari. Satu persatu warga Banjaran Sari menjadi korban akibat kekejaman I Gede Basur. Setiap saat selalu ada warga yang sakit dan tak berselang lama meninggal. Para ahli pengobatan dikerahkan untuk menyelesaikan permasalahan ini justru menjadi korban keganasan wabah penyakit yang digelar I Gede Basur.

Keresahan masyarakat diketahui oleh seorang Jro Balian. Jro Balian yang memiliki kemampuan dengan pengetahuan tinggi mampu mengetahui sebab wabah di Banjaran Sari. Ia yang telah belajar ilmu aliran kanan atau penengen akan berupaya dengan semua kemampuan untuk melenyapkan ilmu pengleakan / pengiwa I Gede Basur. Berangkatlah Jro Balian ke kediaman I Gede Basur untuk meminta pertanggungjawaban karena telah membuat wabah / gerubug di Banjaran Sari. Tak mendapatkan titik temu, keduanya sama-sama kukuh akan pendapat masing-masing. Akhirnya saling adu kemampuanlah yang menjadi titik penyelesaiannya.


Tengs to - Keluarga Besar Pemerajan Agung Sakti Padangsambian
* kalau ingin melihat leak ngendih atau endihan leak datanglah ke kuburan pada tengah malam Kajeng Kliwon Enyitan

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

2 komentar:

  1. Rare Angon Nak Bali Belog Bertamu ring blog semeton Yannusa, semoga semakin banyak blog-blog Bali di dunia maya ini

    salam
    Rare Angon Nak Bali Belog

    BalasHapus
  2. suksma semeton tiang, rare angon....
    shanti....

    BalasHapus