Bahula Duta

Ni Walunatneg Dirah
Ni Walunateng Dirah atau Ni Walunateng disebut juga Ni Calonarang, seorang janda dengan kamampuan ilmu pengelakan, sudah terkenal di daerah Dirah. Jangankan manusia, para butha, wong samar, gamang, memedi dan sejenisnya tiada berani menandingi kemampuan pengeleakannya. Hal ini tiada lain karena telah menjadi kesayangan dan mendapat anugrah Dewi Durga. 





Tiada rasa yang lebih dari hari ini. Serasa bunga bermekaran di taman, kembang merekah ikut merasakan gembira hati Ni Walunateng. Daerah Dirah adalah daerah yang tenteram, yadnya, persembahan tulus dihaturkan setiap hari. Alampun memberikan hasil yang bergelimpahan. Pun dengan alam, hati Ni Walu juga seirama. Sang buah hati, kebahagiaan seorang ibu, telah dipinang ke Lembah Tulis. Mpu Bahula telah menjadi menantu Ni Walunateng. Ciri sekarang si buah hati sudah mampu mandiri. Mungkin inilah saat yang telah ditunggu sejak lama. "tolong panggilkan anakku, bibi" demikian Ni Walunateng meminta kepada sisyanya.

Jangan Beritahu Siapapun... 

"Oh, ibu, terimalah sembah sujud hamba. Engkau yang sangat hamba hormati" sembah bakti Ni Diah Ratna Mangali memberikan hormat kepada Ni Walunateng. 

"Anakku, Diah Ratna Mengali, bunga hidup ibu, sembah sujudmu, ibu terima, berbahagialah engkau kebahagiaan ibu". 

Diah Ratna Mangali
Tiada bahagia rasa seorang Ni Walunateng selain melihat senyum ceria sang pelita hati. Ini adalah anugrah terindah dari sang pemilik semesta. Ni Walunateng menceritakan tentang kebahagiaan yang ia rasakan kepada anaknya. Ia bercerita juga tentang bagaimana menjadi istri yang baik, agar rumah tangga menjadi rukun. Purana-Purana, Dharma Sastra, Ithiasa, kisah-kisah dalam Ramayana dan Mahabharata jadikan pedoman, bagaimana bertingkah menjadi putra yang suputra. 

Segala yang ada di dalam hati telah tersampaikan. Namun ada satu.. Satu lagi yang harus diberitahu. Hal ini tentang kehidupan dan kematian. 

Ni Walunateng akan ke Kahyangan Dalem untuk melaksanakan Dhurga Sraya, menghaturkan puja yadnya kepada Dewi Durga. Untuk itu, dititipkanlah dua pusaka, dan jangan beritau siapapun.. 

Duta, Adalah Utusan... 

Lahir hidup mati, Uppeti, Stiti, Pralina... Ilmu pengelakan adalah Rwa Bhineda, dua hal yang harus ada. Di hari kajeng kliwon, seseorang membawa daksina, 17 ribu uang kepeng, canang 11 , tipat duang kelan dan arak berem. Saat tengah malam, berjalanlah ia ke kuburan, tepat di tempat pembakaran mayat, meminta anugerah kepada sang penguasa kuburan. 

Ida Sasuhunan
Sejatinya ilmu pengeleakan adalah ilmu kebebasan karena ilmu inilah yang akan menghantarkan kita menuju Brahma Loka, namun jangan sombong. Leak yang tidak dibenarkan adalah leak yang menyakiti orang tanpa dosa, leak yg penuh dengan kesombongan. Ilmu pengeleakan akan mampu menyakiti asal manusia salah. Itu untuk memberitahu bahwa ia telah salah. Kesombongan seseorang akan ilmu pengelakannya akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang sangat. 

Demikian sambil menunggu kedatangan sang putra, Mpu Baradah bercerita pada dua orang abdinya. 

Diah Ratna Mangali dan Mpu Bahula
Setelah memberi restu kepada Mpu Bahula, Mpu Baradah mengingatkan akan tugas, Mpu Bahula adalah seorang duta. Tujuannya adalah mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga dan Niscaya Lingga. Dalam melaksanakan tugasnya, Mpu Bahula telah menikah dengan putri Ni Calonarang, Diah Ratna Mangali. Tentu hal ini akan memuluskan tugas untuk mendapatkan pusaka. Namun apa daya, hingga sekarang belum juga diketahui dimana pusaka itu tersimpan. 

"bertemunya sasih desta dengan sasih sada, adalah waktu yang sangat tepat…" demikian Mpu Baradah berpetunjuk. 

Ini Adalah Penistaan, Buatlah Penyakit.. 

Dalam penantiannya, Mpu Bahula berbincang dengan Ratna Mangali tentang kehidupan dan kematian serta tujuan dari hidup dan mati. Ratna Mangali tanpa tersadar, telah memberitau tentang pusaka ibunya yang harus dirahasiakan. Segera saja Mpu Bahula ingin melihat seperti apa pusaka kehidupan dan kematian. Beralaskan cinta dan bakti pada suami, Diah Ratna Mangali memperlihatkan pusaka Nircaya Lingga dan Niscala Lingga. Namun, mpu bahula adalah seorang duta, mengemban tugas untuk mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga pun berpindah tangan. 

Sisya Ngereh, Buatlah Gerubug

Sekembalinya Ni Walunateng dari tapa yoga, hal yang tidak biasa ia rasakan. Didapatkan Ratna Mangali menangis, dan Nircaya Lingga telah hilang. Kemarahan mulai merasuki setiap nadi Ni Walunateng, menantunya ternyata pendusta. Seraya menatap langit, ia tahu ini adalah penistaan, ia memanggil semua sisya dan buatlah penyakit di Lembah Tulis. 

Ngeseng Waringin

Seketika wabah melanda di Lembah Tulis, masyarakat terjangkit penyakit aneh. Secara tiba-tiba sakit kemudian meninggal. Mengetahui akan hal ini, segera Mpu Baradah menuju ke Dirah. 

Burung gagak bersoak-soak, organ-organ manusia bergelantungan di sebuah carang kayu tua. Melewati kuburan, bau amis menusuk penciuman, perjalanan masih harus diteruskan. Mpu Barah menapakkan kaki di Dirah ditemani dua orang abdi. Gelap gulita, ketakutan merasuk ke suasana saat itu. Tiba-tiba nampak seorang wanita tua samar wajah, Ni Walunateng mengetahui kedatangan Mpu Baradah. 
Ni Walunateng Dirah Dan Mpu Baradah

Saling memberi hormat antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng, setelah sekian lama, betapa bahagia mereka bisa saling bertemu di waktu kali ini. Namun kenapa kita bertemu di malam kala ini..? 

Mpu Baradah mempertanyakan keberadaan Ni Walunateng berada di kuburan di malam seperti ini. Dalam tatanan Surya Chandra, surya (matahari) diibaratkan laki-laki dan candra (bulan) adalah perempuan. Ni Walunateng berada di kuburan hanya untuk menikmati keindahan malam saat ini, betapa alam menciptakan sesuatu yang mempesona. Bagai bulan, ini adalah waktu yang tepat untuk muncul menampakkan diri. Sangat disayangkan kalau kita tidak merasakannya. 

Dibalikkan pertanyaan, bukankah ketiadaan surya menandakan malam..? 

Bercahayanya candra bukan karena mampu mengeluarkan cahaya, namun candra hanya memantulkan cahaya surya dan ini menandakan surya selalu hadir. Sepertinya kebanggaan yang berlebihan akan membuat surya terlalu membanggakan diri, apakah salah jika cahaya candra menandakan malam memberikan rasa yang berbeda buat bumi..? 

Sangat tidak salah, namun terang hanya temaram, jangan panas. Jika panas akan membuat masyarakat menderita dan itulah yang tidak diperbolehkan. 

Ida Sasuhunan

Keberadaan rwa bhineda di dunia ini haruslah berjalan beriringan. Ni Walunateng dalam menjalankan ilmu pengeleakannya memiliki swadarma untuk mem-prelina segala yang salah. Namun yang dilakukan adalah mem-prelina semuanya. Bukan hanya yang salah, yang tanpa salahpun terkena penyakit, itulah yang salah. 

Perdebatan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan, begitu dalam pikiran keduanya. Hingga adu kemampuan antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng terjadi. Sebagai sasaran adalah pohon beringin. Ni Walunateng menghanguskan pohon beringin dan Mpu Baradah menghidupkan seperti sedia kala. Sekarang, mpu baradah yang menghanguskan pohon beringin, namun apa daya ketika Ni Walunateng mencoba untuk menghidupkan pohon beringin, nircaya lingga telah dicuri, ia tak sanggup untuk menghidupkan kembali pohon beringin. 

Merasa tak sanggup, Ni Walunateng menantang Mpu Baradah untuk adu kesaktian secara sesungguhnya. Sebagai mpu yang menjalankan darma kesucian, bukan saatnya lagi untuk melakukan "siat peteng", maka diutuslah Patih Taskara Maguna untuk menghadapai Ni Walunateng Dirah. 

*Tengs to - Keluarga Besar Pura Dalem Taman Pohmanis, Desa Penatih Dangin Puri

0 komentar:

Katundung Larung







Ni Walunateng Dirah nampak begitu gembira, bercengkrama bersama dua abdi setianya. Ia bercerita tentang bagaimana manusia bersikap dalam kehidupan ini. Bahwa, di dunia ini ada dunia dengan dimensi lain. Bhur, Bwah, Swah, itulah 3 dunia yang disebut dengan Tri Loka Bhuana. Bhur Loka adalah alam semesta yang manusia tempati ini, Bwah Loka adalah alam para dewa dan Swah Loka adalah alam Ida Sanghyang Widhi Wasa. Selain itu, di dalam miniaturnya, Tri Loka Bhuana juga ada dalam diri manusia. Kaki dipersonifikasikan sebagi Bhur, badan tangan kita adalah Bwah dan kepala kita ibarat Swah. 

Ratna Mangali, Kebahagiaan Seorang Ibu

Demikian Ni Walunateng Dirah bercerita. Sesaat ia tersenyum, memikirkan putri kesayangan, Ratna Mangali. Sebuah keinginan yang sederhana agar sang putri menjadi wanita terbaik, memberikan harum bagi keluarga dan orang-orang dikelilingnya. Ratna Mangali, perpaduan dua kata, Ratna dan Mangali. Ratna berasal dari kata “rat” yang berarti tanah /bumi / jagat /pertiwi dan “na” adalah kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat di bali, bunga ratna sering disebut dengan bungan jagat / sekar jagat. Bunga yang memberikan kehidupan bagi segala hidup di bumi pertiwi.  Sedangkan Mangali berasal dari kata “ma” yang berarti manusia , “nga” artinya berarti dan “li” berarti liang / kebahagiaan / kegembiraan. Ratna Mangali adalah kembang hati / kebahagiaan Ni Walunateng. Rasa cinta seorang ibu kepada putrinya. 

Namun sesaat kemudian, raut wajahnya sendu, pikirannya berubah, ia teringat akan sang sekar jagat, kebahagiaan hatinya yang telah dilamar untuk menjadi pendamping hidup Prabu Erlangga di Kerajaan Kediri. Tapi hingga sekarang, belum kunjung datang, kapan pelaksanaan raja wiwaha / upacara pernikahan Ratna Mangali. Inilah yang membuat Ni Walu merasa bingung, ragu-ragu akan lamaran sang prabu. Untuk mendapatkan kepastian akan pernikahan sang putri, diutuslah Ni Larung ke Kerajaan Kediri.


Pengembalian ke Dirah


Di Kerajaan Kediri, nampak Patih Diaksa dan Patih Manguri sudah menunggu Kedatangan Prabu Erlangga. Segala yang diperlukan untuk pertemuan kali ini sudah dipersiapkan dengan baik. Selang beberapa saat, Patih Madri memberikan isyarat bahwa Prabu Erlangga akan memasuki sidang kerajaan. 



Semua yang hadir memberikan rasa hormat kepada sang junjungan. Sang prabu nampak begitu berwibawa, namun tersirat di wajahnya sebuah kegelisahan yang sangat. Sang prabu menanyakan tentang kesejahteraan rakyat, apakah ada hal yg harus dibenahi lagi untuk kemakmuran rakyat Kediri. Akhir sidang, sang prabu mengutarakan kegelisahan rakyatnya tentang Ratna Mangali. Rakyat menyangka bahwa kehadiran Ratna Mangali di Kerajaan Kediri akan memberikan dampat yang tidak baik bagi kelangsungan hidup di Kerajaan Kediri. Seorang yang lahir dari ibu dengan ilmu pengeleakan tentu akan mewariskannya ke anaknya sendiri. Hal ini tentu akan berakibat buruk. 

Namun, sang prabu telah memberikan janji kepada Ni Walunateng Dirah akan menjadikan Ratna Mangali, wanita terhormat di Kerajaan Kediri, haruslah dilaksanakan. Apa yang menjadi pembicaraan rakyat tentang dampak buruk tersebut adalah sesuatu yg belum tentu benar. Adalah sikap seorang ksatria untuk menepati sebuah janji. Demikian Patih Manguri berpendapat. 

Seketika Patih Diaksa membantah, bahwa Patih Manguri seperti bukan seorang ksatria, karena mudah gentar, tidak bakti kepada kerajaan dan rakyat. Sebagai seorang patih, harus berani membela tanah air dan rakyat. Setiap orang di Kerajaan Kediri tahu siapa Ni Walunateng Dirah dan sudah dapat dipastikan sifat-sifat orang tua akan menurun kepada anaknya. Jadi hal ini sudah begitu jelas dan tidak perlu lagi dibicarakan. 

Saling mendebat, saling beradu pendapat terjadi. Prabu Erlangga dengan berat memutuskan apa yang harus diupayakan dalam penyelesaian kegelisahan ini. Keheningan sejenak, sang prabu bangkit, mengutus Patih Madri untuk mengembalikan Ratna Mangali ke Dirah, ke ni Walunateng.


Kebenaran Itu Tidaklah Benar

 Ratna Mangali, duduk di taman istana yang megah. Menerawang pandangannya, memikirkan tentang bagaimana dirinya esok hari.. Lamunannya terhenti saat utusan sang raja datang memberi hormat. Patih Madri memberitahu tentang tugas yang ia pikul sebagai abdi di Kerajaan Kediri, mengajak Ratna Mangali kembali ke Dirah. Ratna Mangali mempertanyakan kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga harus dihukum seperti ini. Dengan penuh rasa hormat, Patih Madri menceritakan tentang sidang yang telah terjadi. Ratna Mangali mendengarkan dengan perasaan yang semakin memedih. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan yang sangat nista. Ibu yang ia cintai telah dinistakan, dirinya seperti tidak mempercayai apa yg telah ia dengar. Dalam ucapannya, dia tidak membenarkan tentang apa yang telah diperdebatkan dalam persidangan itu. Dan kebenaran itu tidak lah benar…



Sakit hati, Gerubug Kediri

Ni Larung dalam pencariannya mendapatkan hasil. Ia harus membalaskan sakit hati putri dari junjungannya. Yang pertama, ia harus membalas Patih Madri. Ni Larung yang menguasai ilmu Pudak Sategal berhasil memikat Patih Madri. Aroma kecantikannya telah memperdaya Patih Madri. Syarat jika Patih Madri ingin merasakan nikmat keharuman Ni Larung, maka ia harus menyediakan kepala Prabu Erlangga sebagai alas kaki Ni Larung. Sontak Patih Madri sadar akan tipu daya Ni Larung. Adu kesaktian antara Ni Larung dan Patih Madri terjadi. namun. terlalu kuat Ni Larung bagi Patih Madri, hingga Patih Madri harus mengakui kemampuan Ni Larung.





Di Dirah, Ni Walunateng Dirah mengerahkan para sisyanya untuk menghancurkan Kerajaan Kediri. Sakit hati nya sudah tidak sanggup ia tahankan lagi. Bunga kebahagiannya telah dinistakan tanpa kebenaran. Baginya, Kehancuran kerajaan Kediri adalah obat sakit hati yang sepadan. Bersama para sisya, Ni Walunateng Dirah menuju ke setra, memuja Ibu Dhurga, memohon anugrah agar dapat meleburkan kerajaan Kediri.






Segera saja, rakyat Kediri yang tenteram tiba-tiba terjadi kegaduhan. Banyak yang tiba-tiba sakit dan seketika meninggal. Tidak ada kejelasan akan penyakit yang melanda masyarakat kediri. Hingga pada akhirnya berita tentang wabah penyakit aneh ini sampai ke kerajaan. 

Untuk menanggulangi permasalahan ini, sang prabu mengutus Patih Maling Saji untuk menghilangkan wabah yang melanda kerajaan Kediri. Inilah harapan terakhir karena Patih Diaksa dan Patih Manguri sudah tidak mampu menandingi kemampuan sisya Ni Walunateng. Patih Maling Saji, patih andalan kerajaan Kediri sadar bahwa yang akan ia hadapi bukanlah sebuah wabah atau penyakit biasa namun sebuah wabah yang diakibatkan oleh kemarahan seorang ibu, wabah ilmu pengeleakan, akibat perlakuan yang tidak sepatutnya. Dalam angan-angan Patih Maling Saji akan kejadian yang lalu.


Patih Maling Saji bersama dua orang abdinya menuju ke Dirah. Ia percaya sikap ksatria adalah membela Negara, membela tanah air. Dan itu akan membawa sebuah kemenangan. Seraya memohon anugrah Ibu Durga agar bisa melenyapkan bawah dan mengalahkan Ni Walunateng Dirah.

Tengs to
Keluarga Besar Pesimpangan Dalem Penataran Ped Banjar Anyarsari Kangin, Desa Pakraman Nusasari, Kec. Melaya,  Negara




1 komentar: