Katundung Larung







Ni Walunateng Dirah nampak begitu gembira, bercengkrama bersama dua abdi setianya. Ia bercerita tentang bagaimana manusia bersikap dalam kehidupan ini. Bahwa, di dunia ini ada dunia dengan dimensi lain. Bhur, Bwah, Swah, itulah 3 dunia yang disebut dengan Tri Loka Bhuana. Bhur Loka adalah alam semesta yang manusia tempati ini, Bwah Loka adalah alam para dewa dan Swah Loka adalah alam Ida Sanghyang Widhi Wasa. Selain itu, di dalam miniaturnya, Tri Loka Bhuana juga ada dalam diri manusia. Kaki dipersonifikasikan sebagi Bhur, badan tangan kita adalah Bwah dan kepala kita ibarat Swah. 

Ratna Mangali, Kebahagiaan Seorang Ibu

Demikian Ni Walunateng Dirah bercerita. Sesaat ia tersenyum, memikirkan putri kesayangan, Ratna Mangali. Sebuah keinginan yang sederhana agar sang putri menjadi wanita terbaik, memberikan harum bagi keluarga dan orang-orang dikelilingnya. Ratna Mangali, perpaduan dua kata, Ratna dan Mangali. Ratna berasal dari kata “rat” yang berarti tanah /bumi / jagat /pertiwi dan “na” adalah kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat di bali, bunga ratna sering disebut dengan bungan jagat / sekar jagat. Bunga yang memberikan kehidupan bagi segala hidup di bumi pertiwi.  Sedangkan Mangali berasal dari kata “ma” yang berarti manusia , “nga” artinya berarti dan “li” berarti liang / kebahagiaan / kegembiraan. Ratna Mangali adalah kembang hati / kebahagiaan Ni Walunateng. Rasa cinta seorang ibu kepada putrinya. 

Namun sesaat kemudian, raut wajahnya sendu, pikirannya berubah, ia teringat akan sang sekar jagat, kebahagiaan hatinya yang telah dilamar untuk menjadi pendamping hidup Prabu Erlangga di Kerajaan Kediri. Tapi hingga sekarang, belum kunjung datang, kapan pelaksanaan raja wiwaha / upacara pernikahan Ratna Mangali. Inilah yang membuat Ni Walu merasa bingung, ragu-ragu akan lamaran sang prabu. Untuk mendapatkan kepastian akan pernikahan sang putri, diutuslah Ni Larung ke Kerajaan Kediri.


Pengembalian ke Dirah


Di Kerajaan Kediri, nampak Patih Diaksa dan Patih Manguri sudah menunggu Kedatangan Prabu Erlangga. Segala yang diperlukan untuk pertemuan kali ini sudah dipersiapkan dengan baik. Selang beberapa saat, Patih Madri memberikan isyarat bahwa Prabu Erlangga akan memasuki sidang kerajaan. 



Semua yang hadir memberikan rasa hormat kepada sang junjungan. Sang prabu nampak begitu berwibawa, namun tersirat di wajahnya sebuah kegelisahan yang sangat. Sang prabu menanyakan tentang kesejahteraan rakyat, apakah ada hal yg harus dibenahi lagi untuk kemakmuran rakyat Kediri. Akhir sidang, sang prabu mengutarakan kegelisahan rakyatnya tentang Ratna Mangali. Rakyat menyangka bahwa kehadiran Ratna Mangali di Kerajaan Kediri akan memberikan dampat yang tidak baik bagi kelangsungan hidup di Kerajaan Kediri. Seorang yang lahir dari ibu dengan ilmu pengeleakan tentu akan mewariskannya ke anaknya sendiri. Hal ini tentu akan berakibat buruk. 

Namun, sang prabu telah memberikan janji kepada Ni Walunateng Dirah akan menjadikan Ratna Mangali, wanita terhormat di Kerajaan Kediri, haruslah dilaksanakan. Apa yang menjadi pembicaraan rakyat tentang dampak buruk tersebut adalah sesuatu yg belum tentu benar. Adalah sikap seorang ksatria untuk menepati sebuah janji. Demikian Patih Manguri berpendapat. 

Seketika Patih Diaksa membantah, bahwa Patih Manguri seperti bukan seorang ksatria, karena mudah gentar, tidak bakti kepada kerajaan dan rakyat. Sebagai seorang patih, harus berani membela tanah air dan rakyat. Setiap orang di Kerajaan Kediri tahu siapa Ni Walunateng Dirah dan sudah dapat dipastikan sifat-sifat orang tua akan menurun kepada anaknya. Jadi hal ini sudah begitu jelas dan tidak perlu lagi dibicarakan. 

Saling mendebat, saling beradu pendapat terjadi. Prabu Erlangga dengan berat memutuskan apa yang harus diupayakan dalam penyelesaian kegelisahan ini. Keheningan sejenak, sang prabu bangkit, mengutus Patih Madri untuk mengembalikan Ratna Mangali ke Dirah, ke ni Walunateng.


Kebenaran Itu Tidaklah Benar

 Ratna Mangali, duduk di taman istana yang megah. Menerawang pandangannya, memikirkan tentang bagaimana dirinya esok hari.. Lamunannya terhenti saat utusan sang raja datang memberi hormat. Patih Madri memberitahu tentang tugas yang ia pikul sebagai abdi di Kerajaan Kediri, mengajak Ratna Mangali kembali ke Dirah. Ratna Mangali mempertanyakan kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga harus dihukum seperti ini. Dengan penuh rasa hormat, Patih Madri menceritakan tentang sidang yang telah terjadi. Ratna Mangali mendengarkan dengan perasaan yang semakin memedih. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan yang sangat nista. Ibu yang ia cintai telah dinistakan, dirinya seperti tidak mempercayai apa yg telah ia dengar. Dalam ucapannya, dia tidak membenarkan tentang apa yang telah diperdebatkan dalam persidangan itu. Dan kebenaran itu tidak lah benar…



Sakit hati, Gerubug Kediri

Ni Larung dalam pencariannya mendapatkan hasil. Ia harus membalaskan sakit hati putri dari junjungannya. Yang pertama, ia harus membalas Patih Madri. Ni Larung yang menguasai ilmu Pudak Sategal berhasil memikat Patih Madri. Aroma kecantikannya telah memperdaya Patih Madri. Syarat jika Patih Madri ingin merasakan nikmat keharuman Ni Larung, maka ia harus menyediakan kepala Prabu Erlangga sebagai alas kaki Ni Larung. Sontak Patih Madri sadar akan tipu daya Ni Larung. Adu kesaktian antara Ni Larung dan Patih Madri terjadi. namun. terlalu kuat Ni Larung bagi Patih Madri, hingga Patih Madri harus mengakui kemampuan Ni Larung.





Di Dirah, Ni Walunateng Dirah mengerahkan para sisyanya untuk menghancurkan Kerajaan Kediri. Sakit hati nya sudah tidak sanggup ia tahankan lagi. Bunga kebahagiannya telah dinistakan tanpa kebenaran. Baginya, Kehancuran kerajaan Kediri adalah obat sakit hati yang sepadan. Bersama para sisya, Ni Walunateng Dirah menuju ke setra, memuja Ibu Dhurga, memohon anugrah agar dapat meleburkan kerajaan Kediri.






Segera saja, rakyat Kediri yang tenteram tiba-tiba terjadi kegaduhan. Banyak yang tiba-tiba sakit dan seketika meninggal. Tidak ada kejelasan akan penyakit yang melanda masyarakat kediri. Hingga pada akhirnya berita tentang wabah penyakit aneh ini sampai ke kerajaan. 

Untuk menanggulangi permasalahan ini, sang prabu mengutus Patih Maling Saji untuk menghilangkan wabah yang melanda kerajaan Kediri. Inilah harapan terakhir karena Patih Diaksa dan Patih Manguri sudah tidak mampu menandingi kemampuan sisya Ni Walunateng. Patih Maling Saji, patih andalan kerajaan Kediri sadar bahwa yang akan ia hadapi bukanlah sebuah wabah atau penyakit biasa namun sebuah wabah yang diakibatkan oleh kemarahan seorang ibu, wabah ilmu pengeleakan, akibat perlakuan yang tidak sepatutnya. Dalam angan-angan Patih Maling Saji akan kejadian yang lalu.


Patih Maling Saji bersama dua orang abdinya menuju ke Dirah. Ia percaya sikap ksatria adalah membela Negara, membela tanah air. Dan itu akan membawa sebuah kemenangan. Seraya memohon anugrah Ibu Durga agar bisa melenyapkan bawah dan mengalahkan Ni Walunateng Dirah.

Tengs to
Keluarga Besar Pesimpangan Dalem Penataran Ped Banjar Anyarsari Kangin, Desa Pakraman Nusasari, Kec. Melaya,  Negara




Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

1 komentar:

  1. Hai susila....

    Blogger juga tho😀😀 ah, knp dulu aku ga minta tlng kmu buat mbikinin naskah yaa..

    BalasHapus